Jumat, September 21, 2012

Cerpen - Maafkan Aku Ayah


Maafkan Aku Ayah

“Kurang dua ratus ribu.”
Aku menghela nafas, “bagaimana bisa aku membeli gaun yang kuinginkan?”
Minggu pagi aku sudah berkutat dengan celengan ayamku. Memecahkan dan memeriksa uang yang ada di dalamnya. “Ternyata isinya hanya lima puluh ribu, padahal ulang tahunku hanya tinggal seminggu lagi. Rencananya uang yang ada di celengan itu akan kupakai untuk membeli gaun yang bagus. Kalau cuma segini, mana cukup?”
“Tiara . . .”
“Iya yah. Mau berangkat ya?“ panggilan Ayah memaksaku untuk beranjak dari celengan ayam tersebut. Kulihat Ayah sudah siap dengan sayur-mayurnya.
“Iya, Ayah berangkat dulu ya. Jaga rumah dan kalau mau pergi pintunya jangan lupa dikunci,” pesan Ayah panjang lebar. Aku pun memberikan senyuman manis untuk Ayah.
Sebagai pedagang sayur keliling, sudah menjadi rutinis Ayah berangkat pagi-pagi sekali. Semenjak  Ibu meninggal, Ayah bekerja sendirian untuk menghidupi aku anak semata wayangnya. Mengingat pekerjaan Ayah yang penghasilannya tak seberapa, aku pun tak tega meminta uang dengan jumlah banyak hanya untuk membeli gaun yang kuinginkan.
“Sepertinya aku harus bekerja paruh waktu. Tapi apakah Ayah akan mengizinkannya? Sudahlah, lebih baik aku secara diam-diam dan berusaha agar Ayah tidak mengetahuinya.”
©©©
Sudah empat hari semenjak aku memutuskn bekerj secara diam-diam. Aku sudah mendapat pekerjaan, yaitu sebagai penjaga kasir di sebuah minimarket. Aku bekerja sementara menggantikan karyawan tetap yang sedang cuti hamil. Aku memang beruntung, gajinya lima pulih ribu dalam sehari. Dengan begini aku bisa membeli gaun yang kuinginkan. Selama empat hari itu pula aku selalu berusaha pulang kerja lebih cepat dari Ayah.
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara Ayah disertai dengan ketukan pintu.
“Wa’alaikumsalam,” aku bergegas membukakan pintu. “Ayah lapar? Tiara sudah masak,” tanyaku ramah.
Ayah bergeming, melngkah masuk dan langsung duduk di kursi yang sudah lapuk dimakan usia.
“Ayah kenapa? Tidak seperti biasa.”
“Tiara, apa benar kamu bekerja?”
“Ketahuan? Apa yang harus aku katakan? Apa aku harus berbohong?” tanyaku dalam hati.
“Iya yah,” aku menunduk, mencoba untuk tetap tenang.
“Buat apa, Tiara? Kamu mau mmbeli apa? Seharusnya kamu bilang sama Ayah. Ayah pasti akan berusaha membelikannya. Kamu tidak perlu bekerja sampai membolos sekolah.”
“Ayah tahu dari mana aku pernah mmbolos? Aku memang melakukannya demi masuk kerja agar gajiku ditambah, tapi Cuma dua hari,” batinku.
“Kenapa Ayah bisa . . .”
“Ayah bertemu dengan gurumu yang kebetulan membeli sayur di tempat Ayah,” Ayah memotong kata-kataku.
“Tiara, Ayah pernah bilang kamu jangan bekerja. Cukup Ayah saja yang bekerja. Kamu hanya perlu fokus terhadap belajar dan sekolahmu. Kalau kamu bekerja, sekolahmu akan terbengkalai. Sekarang katakana pada Ayah, untuk apa kamu bekerja?”
“Tiara hanya ingin membeli gaun. Apa Ayah lupa hari senin ini ulang tahun Tiara yang ke-17 tahun? Untuk itulah nadia bekerja. Tiara tidak mau menyusahkan Ayah, tapi kanapa Ayah tidak mau mengerti. Ayah jahat . . .”
Pentahananku runtuh, air mata mengalir deras di pipiku. Aku beranjak dari tempatku dan berlari meninggalkan Ayah yang termangu dengan kalimat panjangku. Inilah pertengkaran pertamaku dengan Ayah.
©©©
Tak terasa hari senin pun tiba. Sudah tiga hari aku tidak berbicara kepada Ayah.
“Hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku harus bisa bersenang-senang. Mungkin sebaiknya aku langsung ke butik untuk membeli gaun yang aku idamkan selama ini.”
Aku keluar dari kamar, melihat sekeliling. Terlihat sepi, seperti biasa Ayah telah berangkat. Aku pun bergegas menuju ke butik.
©©©
Aku memeluk tas belanjaan dengan gembira. Gaun yang selama ini aku idamkan telah berada di tanganku. Gaun sutra berwarna merah yang menyuntai indah hingga mata kaki. Aku sudah tidak sabar ingin mengenakannya. Aku segera menaiki angkot yang berhenti di pinggir jalan. Rasanya begitu bahagia bisa membeli barang yang kita inginkan dengan hasil jerih payah sendiri.
“Oke, sekarang kita dengarkan sebuah lagu yang sangat menyentuh dan menguras air mata,” suara penyiar radio menggema di dalam angkot. Aku yang memang mnyukai musik menyimak setiap kata yang diucapkan oleh penyiar tersebut.
“Ini dia persembahan untuk setiap orag yang mencintai Ayahnya. Seventeen dengan judul Ayah”
Deg! Hatiku tersentak begitu mendengar perkataan sang penyiar. Aku langsung teringat pada Ayah.
Engkaulah nafasku
Yang menjaga di dalam hidupku
Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik
Kau tak pernah lelah
Sebagai penompang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang terindah
“Ya Allah, bagaimana bisa aku melupakan Ayahku?” aku kembali teringat ketika  Ibu meninggal. Ayah dengan tegarnya memelukku, padahal aku tahu bahwa Ayah adalah orang yang paling merasa kehilangan. Ayah juga ingat ketika dagangan Ayah tidak laku, padahal saat itu persediaan beras kami telah habis. Ayah berhutang ke warung demi membelikanku sebungkus nasi, sedangkan Ayah menahan laparnya demi aku. “Dan sekarang apa balasanku terhadapnya?”
Aku hanya memanggilmu Ayah
Disaatku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu Ayah
Jika aku telah jauh darimu
Air mata telah membajiri pipiku. Betapa bodohnya aku, menyia-nyiakan Ayah yang begitu menyayangi dan mencintaiku. Aku harus segera meminta maaf kepada Ayah. Aku mnyesal telah marah-marah kepada Ayah.
Aku berhentikan angkot yang telah mendekati lorong rumahku. Aku membayarnya dan langsung berlari menuju rumah. “Kenapa rumahku sangat ramai? Apa yang terjadi?” aku pempercepat langkahku. Tampak pamanku berdiri di depan pagar rumahku.
“Paman, apa yang terjadi? Kenapa di rumah banyak orang?”
“Ayah kecelakaan, Tiara. Beliau ditabarak lari,” jelas paman dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kotak ini ada di pelukan Ayahmu saat itu.”
“Masya Allah. Tapi Ayah baik-baik saja kan?”
Aku tidak bisa tenang, rasa takut menjalar di hatiku. Kuterima kotak tersebut dengan tangan gemetar. Kulihat paman seperti enggan menjawab pertanyaanku. Kubuka kotak tersebut dengan berlahan. Air mata langsung mengalir melihat gaun berwarna ungu yang sangat indah.
“Ayahmu sudah meninggal, Tiara. Kamu harus sabar, pasrahkan semuanya pada Allah.”
“Apa? Ayah meninggal? Aku bahkan belum sempat meminta maaf,” air mataku mengalir lebih deras.
Kupeluk erat gaun pemberian terakhir dari Ayahku. Kutemukan selembar kertas yang bertuliskan kalimat “SELAMAT ULANG TAHUN ANAKKU TERCINTA” yang terselip dalam kotak tersebut. Nafasku menjadi berat, rasa sesak menyelimuti dadaku. Mataku berkunang-kunang dan duniaku gelap seketika

By : Wulandari Safitri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar