Satu
langkah, dua langkah aku mulai menelusuri setapak demi setapak memasuki Gerbang
sekolah baruku. Terlihat kosong tanpa siswa yang berkeliaran di halaman sekolah
karena baru memasuki jam pertama. Yang ada hanya kicauan burung di atas pohon mangga di samping kantor kepala
sekolah kami,
ditemani hembusan angin yang memecahkan kesunyian pagi. Udara segar membuatku
siap melewati hari pertama di sekolah baru itu. Dan seorang guru yang kemarin kutemui
waktu mendaftar, menuntunku menuju ruangan kelas yang telah disediakan.
“Brrakk...”. Aku tertabrak seorang siswa laki-laki yang penuh dengan lembaran kertas di tangannya yang
kemudian berhamburan jatuh.
“Maaf, maaf ya. Aku sama
sekali gak sengaja buat ngejatuhin semua berkas-berkas kamu. Biar
aku bantu ya!”. Aku pun segera
memungut lembaran-lembaran kertas
itu diliputi rasa tidak enak karena meyebabkan berkas-berkas
miliknya jatuh semua, demikian pula dengannya yang langsung mengutip
lembaran-lembaran tersebut. Tanpa sadar, tanganku dan tangannya tak sengaja
saling terpegang saat sibuk mengambil satu kertas terakhir yang masih berada di
lantai. Tiba-tiba kami berhenti sejenak dan saling menatap mata dengan tajam.
Selang dua detik, kedua tangan kami terlepas. Gerak-gerikku pun berubah menjadi
salah tingkah. Tapi entah mengapa, ada hal berbeda yang kurasakan saat kejadian
itu. Aku seperti pernah membayangkan sosok raut wajah seperti dirinya dalam
mimpiku. Jantungku mulai berdebar kencang dan timbul perasaan yang tidak aku
mengerti. Apakah ini yang namanya cinta pada pandangan pertama?
Sejenak
aku melupakan itu semua setelah semua berkas-berkas tadi terkumpul dan dia
pergi berlalu begitu saja tanpa eksprei,
respon dan sepatah katapun tak terucap dari mulutnya yang sangat membuatku heran. Tapi
bayangan wajahnya masih saja terlintas di benakku. Tanpa fikir panjang, aku langsung melanjutkan perjalan
menuju ruangan kelas. Tapi satu
hal yang membuatku paling penasaran yaitu namanya, bahkan aku belum sempat
berkenalan dengannya. “Oh Tuhan, kenapa
aku gak sempat tau namanya ya tadi!!? pccctt”.
Sesampainya di kelas, aku
memperkenalkan diri kepada teman-teman baruku dan mulai menyesuaikan diri
dengan mereka. Dan aku rasa, aku betah disana dan merasa nyaman di kelas itu.
* * *
Hari demi hari dan bulan demi bulan terlewati
begitu saja dengan
perkembangan prestasiku yang lumayan bagus di sekolah itu. Aku pun aktif
mengikuti segala macam bentuk kegiatan dan sempat meraih beberapa penghargaan dan piala atas kejuaraan
Olimpiade dan kompetisi lainnya yang aku ikuti. Semua hal
itu membuatku lebih bersemangat dan teman-teman yang akrab denganku juga
semakin banyak. Tapi aku bingung dengan satu orang, yaitu Reza, begitu namanya yang ku ketahui dari salah
satu teman sekelasku, ia yang tempo lalu pernah tertabrak denganku masih saja
seperti waktu pertama aku mengetahui sifatnya yang pendiam seolah sombong itu.
Padahal aku telah mengenal seluruh teman sekelasnya yang kebetulan bersebelahan
dengan kelasku, kecuali hanya dia yang sampai sekarang tak muncul keberanian
pada diriku untuk mengucapakan salam perkenalan semata.
“Kara, temenin aku yuk ke
kelas sebelah? Aku ada perlu ama temen aku di kelas
itu.” Fira, sahabat pertama yang kutemukan di sekolah
itu menggandeng tanganku dan meminta menemaninya ke kelas sebelah, kebetulan
sedang jam istirahat, aku juga ingin melepas kepenatan di dalam kelas, apalagi
aku tahu di kelas sebelah pasti aku bisa melihat wajah Reza si pangeran cuek itu. Lantas,
aku tersenyum semangat dan langsung bangkit dari kursiku menuju kelas XI IPA-2 bersama Fira.
“Haaiii Kara... mari duduk bareng kami!” Aku terkejut ketika masuk ke dalam
kelas itu dan dengan serentak semua teman-teman menyapa dan
memperlakukanku dengan ramah bagaikan seorang artis yang baru masuk ke wilayah
mereka. Padahal aku tidak begitu hafal
nama mereka semua. Tapi yang membuatku paling bingung
adalah Reza yang terdiam sendiri di pojok kelas, sepertinya sedang sibuk menulis. Hanya dia
seorang yang tidak ramah seperti teman lainnya. Padahal aku sangat berharap bahwa ia juga ikut
menyapaku tadinya, ternyata tidak. “Tapi
gak apa-apa lah, aku uda seneng kok walau
cuma bisa ngeliat wajahnya aja.”, fikirku dalam hati. Sementara
Fira sibuk dengan temannya yang ingin ditemuinya tadi.
“Ciieeeh... malu-malu kucing” Mereka menyoraki ke arah Reza yang pada
saat itu entah mengapa keluar dari kelasnya secara tiba-tiba. Aku tidak
mengerti akan sifatnya yang aneh itu.
“Kenapa ya si Reza? Kok
tiba-tiba keluar gitu? Apa dia gak suka ya kalo aku dan Fira mampir ke kelasnya? Kenapa coba? Tapi tunggu,
trus temen-temen kok pada bilang malu-malu kucing? Apa maksudnya itu?” Beribu pertanyaan muncul di otakku atas
tindakan Reza yang misterius dan membuatku sama sekali tak bisa menebak jawabannya.
Lantas, kami kembali lagi ke kelas dan teman-teman juga melambaikan tangan
kepadaku. “ Daaa Kara...”aku pun
tersenyum sebagai tanda balasan
sapaan mereka.
* * *
Diam,
sunyi, sepi dan sendiri hanya bersama diariku aku duduk di samping pot bunga mawar yang berjejer di
depan kelas. Entah apa yang terbayang di benakku saat itu. Perasaan gundah selalu menghantui.
Dan apapun itu, yang pasti aku selalu terfikir tentang Reza. Aku mencoba
membuka fikiran, namun hatiku berkata sepertinya aku benar-benar jatuh cinta
pada Reza. “Aah,,, tapi apa iya aku benar-benar menyukainya?
Kalau aku fikir pakai logika, gak ada tuh yang hal-hal wow yang pernah kita
lewatin, ? Say Hello aja sama sekali gak pernah, dan dia pun sepertinya gak pernah melihat hadirnya aku selama ini.”
Fikirku dalam hati.
“Eh, anak baru. Apa benar kamu itu yang namanya Kara?” Tiba-tiba
seorang siswi perempuan menghampiriku sambil menyapa dengan nada tak sedap. Aku tak mengerti
apa maksudnya ia bertanya sedemikian, seolah aku memiliki kesalahan besar terhadapnya.
Aku seperti terbodoh kaku dihadapan perempuan itu sebab selama ini aku merasa
belum pernah punya masalah dengan teman lain di sekolah baru ini.
“Iyaa benar, maaf ada apa ya mencari saya?” Aku bertanya balik kepadanya dengan nada sedikit tersinggung atas
sapaannya tadi yang kurang sopan itu.
“Oh, jadi benar ya kamu itu yang dipuja-puja ama dia selama ini. Aku tau lah kalo
kamu itu emang terkenal di sekolah ini sebagai anak pinter dan cantik, tapi gak
berarti dia harus pilih kamu kan dari pada aku?! Hukks,, huks,, huks,,!!
Benci,, benci,, benci. Ahh!” Dia pergi begitu saja
setelah sebelumnya sempat marah tak karuan kepadaku sambil menangis.
“Hei tunggu... maksudnya apaan?!! Kok malah
kabur gak jelas gitu?! Dasar cewek aneh.” Jidatku berkerut, aku
benar-benar bingung dengan pernyataanya tadi.“Apa salah aku coba? ‘Dia harus pilih kamu daripada aku?’ Apa sih itu
maksudnya?! Emangnya siapa yang milih siapa ya?” Aku bergumam dalam hati
sambil bertanya-tanya dan mencoba mencari dimana titik kesalahanku.
“Kar, kenapa bengong sendirian? Ke kantin yuk”,
tiba-tiba Fira datang mengejutkan sambil menepuk pundakku seakan menyadarkanku
dari hal aneh yang barusan terjadi.
“Oh, Fira. Yaya bentar lagi ya, aku lagi males jajan ni.
Pengen duduk di sini aja”.
“Lho, kenapa kamu ini Kar ? Lagi ada masalah ya?! Coba dong cerita sama aku, mana tau aku bisa
bantuin kamu. Ayo sekarang bilang, kamu kenapa kok pucat banget hari ini?” Fira mencoba menenangkan sekaligus ingin mengetahui apa yang sedang ku
fikirkan dari tadi.
“Enggak ada kok Fir, aku cuma bingung
aja soalnya tadi sempat ada seorang cewek, nyamperin aku, trus tiba-tiba dia
marah-marah gak jelas, malah nangis ujung-ujungnya. Aku gak tau kenapa. Aku diam aja karena aku juga gak kenal sama dia. Dia marah-marah seakan-akan
aku ngerebut pacarnya gitu. Aku bener-bener gak ngerti maksud dia itu apa.”
“Ha? Kok bisa gitu, Kar? Aneh banget ya! Oh iya, kamu
bisa sebutin gak ciri-ciri orangnya gimana?”Fira
sangat penasaran dengan ceritaku, dan ia menanyakan ciri-ciri perempuan itu,
sepertinya ia mengenalnya.
“Orangnya hitam manis, tinggi, hidungnya mancung mirip keturunan Arab
gitu Fir, trus pake kacamata. Emang kamu kenal?” jelasku.
“Jangan-jangan maksud kamu Zuhra ya ?
Aku kenal banget malah, dia itu sahabat aku juga, dulu selokal waktu kita kelas satu.” Aku menatap Fira dengan pandangan
serius penuh rasa ingin tahu, dan mencoba mendengarkan penjelasannnya dengan
baik. “Zuhra itu pacarnya Reza yang di
kelas sebelah, Kar. Kamu kenal kan?”
“Hah?
Pacarnya Reza?” Mata dan mulutku terbuka lebar secara
bersamaan karena terkejut bahwa ternyata
selama ini Reza telah memiliki kekasih. Aku terdiam dan tak mampu berkata
apa-apa.
“Hallooo, kamu baik-baik aja
kan? Kok segitunya banget ekspresinya? Kenapa, Kar? Haaaaa... Aku tau. Pasti kamu suka ya sama Reza? Ayo ngaku...”. Aku belum sempat menjawab apa-apa karena masih shock, lalu Fira
menyambung perkataanya, “Yaaa, aku sih
yakin kalo kamu suka sama dia. Secara, Reza itu
orangnya ganteng lho! hahaha, trus dia itu juga pemain basket terkenal di sekolahan. Sekilas sih
sifatnya sombong karena gak mau banyak bicara dengan orang lain. Tapi sebenarnya kalo kita dekat sama dia, dia itu sifatnya baik juga
kok, asik lagi. Tapi jangan salah, kemisteriusannya
itu membuat banyak cewek naksir sama dia. Termasuk kamu kan?” Aku pun tersentak dan melepas senyum yang
sempat tak berani ku tampakkan di depan sahabatku itu karena malu. Ternyata aku
sudah tertangkap basah dan tak berani menutupi lagi kalau selama ini aku memang
menyukai Reza.
“Sebenarnya aku memang suka sama
dia Fir, sejak pertama aku lihat dia, aku
ngerasain hal yang beda, aku fikir
aku suka sama dia. Tapi setelah kamu bilang kalo Reza udah
punya pacar, aku jadi kecewa berat.” Wajahku segera berubah menjadi murung, aku hanya bisa menatap ke bunga
mawar yang layu di sampingku, seolah menjadi contoh kelayuan hatiku pada saat
itu dan tak ingin melanjutkan lagi ceritaku kepada Fira.
“Eh, tapi kamu jangan salah
dulu Kar, dia uda putus sama Zuhra lho. Aku sih gak tau kenapa sebabnya, yang pasti Zuhra itu memang benar-benar cinta mati sama Reza,
tapi aku rasa cintanya Reza buat Zuhra gak
sebesar itu deh.”
“Yang
bener kamu, Fir?” Aku mulai bisa tersenyum.
“Iya Lho Kara, jadi kamu
masih punya kesempatan tuh kayaknya. Hahaha”. Fira berusaha meyakinkan dan menghiburku dari rasa kecewa tadi.
Kemudian ia meneruskan lagi, “Tapi
tunggu, jadi maksud kata-kata Zuhra barusan apa ya? Atau jangan-jangan mereka
putus gara-gara kamu mungkin, Kar.”
“Ah, gak mungkin banget lah
Fira, ngaco kamu nih, sejak kapan aku
pernah ganggu hubungan orang. Kenal aja enggak sama si Reza itu. Masa tiba-tiba
aku jadi penyebab mereka putus. Gak mungkin kan?”
Tadinya aku juga sempat berfikir sama seperti yang di ucapkan oleh Fira tadi,
tapi kurasa itu hal mustahil. Dari sisi mana aku yang menyebabkan mereka putus
hubungan?! Aku merasa tak habis fikir dan aneh sekali kedengarannya.
“Iya juga sih. Kenapa ya si Zuhra
itu? Hmm,, mungkin aja dia salah orang, Kar.”
“Aku rasa juga gitu,Fir. Ya udah deh, jajan yuk ke kantin”
“Yukk!!”. Kami pun melupakan hal aneh yang menimpaku tadi dan belum ingin
berfikir untuk hal semustahil itu. Dan itu berlalu begitu saja tanpa kami
pertanyakan lagi, walaupun aku tak bisa pungkiri bahwa aku masih sangat
penasaran.
* *
*
Seiring
waktu berjalan selama beberapa bulan aku bersekolah di situ, tak ada satu hari
pun tertinggal tanpa melihat wajah Reza walaupun hanya sekejap. Aku tak tahu mengapa
setiap saat aku meninggalkan ruang kelas, baik ketika jam istirahat maupun jam
pulang sekolah, dia selalu muncul dihadapanku. Dan aku merasa sangat senang
apabila telah melihat wajahnya sekali saja dalam sehari. Itulah yang membuatku
semakin tak bisa berhenti menyimpan rasa penasaran padanya. Setiap hari,
perasaanku yang begitu besar kutuangkan dalam catatan kecil pada buku diariku
yang seluruh isisnya tentang Reza. Namun, hari ini aku sangat sedih karena tak melihatnya seharian di sekolah.
“Deeeeeeeerrrrrrrrt...” bel jam pulang berbunyi. Aku segera berkemas bersiap-siap untuk
pulang.
“Yuuk Fir, barengan pulangnya!” ajakku kepada Fira.
“Waduh, gini Kar, kamu mau gak nungguin aku bentar? soalnya aku ada urusan mendadak nih. Disuruh oleh ketua panitia PENSI untuk menemuinya, kami mau bicarain tentang PENSI lima hari lagi. Karena aku tuh sekretaris OSIS, jadi punya tanggung jawab besar ngurusin acara itu.” Jelas Fira.
“Waduh, gini Kar, kamu mau gak nungguin aku bentar? soalnya aku ada urusan mendadak nih. Disuruh oleh ketua panitia PENSI untuk menemuinya, kami mau bicarain tentang PENSI lima hari lagi. Karena aku tuh sekretaris OSIS, jadi punya tanggung jawab besar ngurusin acara itu.” Jelas Fira.
“Ohh.. ya udah kalau gitu Fir, gak apa-apa kok, aku tungguin kamu
ya.” Padahal
aku merasa sangat kecewa karena perutku yang sudah keroncongan, ditambah
kegelisahanku yang sejak pagi tadi tak bertemu Reza, semuanya membuatku seakan kurang Ikhlas menunggu temanku, Fira. Tapi ku fikir tak masalah lah. Lantas aku ikut
kemana pun Fira pergi.
* * *
“Siang Reza. Maaf ya udah lama nunggu, tadi ada kepentingan sebentar ama teman. Nih, kenalin
dong, kalian belum saling kenal kan? Kara
namanya ni Za.” Mataku secara spontan
terbelalak melihat sapaan Fira barusan kepada Reza. Ternyata Reza adalah ketua
panitia PENSI di sekolah kami. Dan aku merasa sama sekali tidak sia-sia
menunggu temanku Fira untuk sebuah pertemuan dimana orang yang spesial bagiku
juga ada di tempat itu.
“Wah, jodoh ya… Padahal hari
ini aku uda murung banget karena gak ngeliat
kamu dari tadi pagi Za. Aku senang bisa ngeliat wajah
kamu di tempat ini, suer!” Fikirku dalam hati. Aku merasakan
kegembiraan yang luar biasa
pada saat itu. “Kara…” , aku pun langsung mengulurkan tanganku sambil tersenyum berharap balasan
jabatan tangan dari sosok pangeran impian itu.
“Hmm..
Oke, gak masalah, Fir. Langsung aja nih, gimana sejauh ini persiapannya? Apa-apa aja
yang mau di tampilkan di Pensi?” Aku tertegun
dan segera menutup senyumku yang terpasang manis tadi. Dengan bahasa tubuh yang
sedikit salah tingkah lantas ku turunkan lagi uluran tanganku tadi perlahan-lahan kemudian
menggaruk kepala seolah menganggap hal bodoh yang kulakukan tadi tak pernah
terjadi. Sungguh, aku menyesal dan sedikit malu dengan tindakanku yang tak
mendapatkan respon apa-apa darinya. Dari hati terdalam aku merasa sangat kecewa dan sedih karena salam perkenalanku saja tak dihiraukan
sama sekali olehnya. Bagaimana aku dapat berteman dengannya.
“Uda Za, sejauh ini
persiapannya udah oke, semuanya
komplit. Kita cuma butuh satu orang lagi untuk nampilin lagu pembukaan yang
soft untuk para tamu dari luar sekolah. Tapi siapa ya? Setau aku
sih anak-anak pada lemah di bidang itu, paling cuma Rio. Itupun aliran musik
Rock, kan gak garing banget
untuk pembukaan. Jadi aku harus nyari siapa ya?”, Fira berbincang-bincang dengan Reza, sementara
aku terbodoh sendiri di sampingnya.
“Aku bisa bantu, Fir nyari orangnya.” Aku
tersenyum ke arah Fira untuk meyakinkannya dan berfikir bahwa orang yang ku maksud untuk
dicari adalah diriku sendiri. Karena sejak kecil aku memang tertarik di dunia
tarik suara. Kebetulan saja ada momen yang pas untuk menunjukkan bakat yang aku
punya, terutama karena Reza. Aku ingin dia melihat aku selama ini yang berharap
diperhatikan olehnya. “Udah
deh, gak usah difikirin,
secepatnya aku bakal temuin orangnya
kok.” tambahku.
“Kamu yakin, Kar? ya udah deh kalau memang kamu mau bantu, kamu cari gih orangnya,
harus udah oke pas hari H-nya ya! hehehe”, kata Fira meyakinkanku.
“Sip Fir.”, jawabku.
“Fira, kita disini butuh gak
main-main ya! Jadi settingnya kalau bisa
lebih serius aja, Oke! Aku ngurusin
ke bagian keamanan dulu! .” Tiba-tiba suara Reza
menyambar tanggapanku tadi. Aku tercengang mendengar pernyataannya yang seakan menyindirku bahwa aku itu orang baru
yang tidak pantas dipercaya.
Yang paling membuatku kecewa adalah dia pergi begitu saja
tanpa mempertimbangkan penawaranku tadi.
“Shit,
aku kesal banget sama kamu tau gak, Reza. Aku kira sifat
kamu sebagus tampang kamu. Tapi nyatanya enggak”, dengus
kesalku dalam hati.
“Fir, kayaknya aku pulang duluan aja ya”, wajahku berubah menjadi
masam dengan nada sedikit emosi.
“Lho! kok pulang sih, Kar ? tadi katanya mau nungguin aku, kan kita mau pulang bareng?! Trus kamu mau
pulang sama siapa dong? Ntar kesasar lagi.” Fira menatapku tajam seolah mengerti dengan sifatku barusan yang
terlihat sedikit aneh. Namun ia juga tak bisa mencegahku, sebab urusannya
dengan Reza belum selesai dan itu merupakan hal yang lebih utama daripada
mengantarku pulang. Akhirnya, terihat dari raut wajah Fira yang seperti merasa
bersalah terpaksa membiarkanku pulang sendirian.
“Gak apa-apa Fir, ntar
aku minta jemput aja sama orang rumah.” , kataku.
“Yauda
deh kalau gitu, hati-hati aja, Kar!”.
Aku
pun pergi berlalu begitu saja bersama angin kering yang berhembus menemani
kekesalan hatiku hari ini.
Sampai ke rumah, hatiku masih
diliputi oleh rasa kesal tadi. Aku berceloteh sesuka hati dan mengganggap Reza itu
punya salah yang sangat besar kepadaku sehingga membuatku emosi tanpa alasan
yang tepat. Aku modar-mandir ke kanan
dan ke kiri mengitari kamarku yang lumayan besar itu dan berusaha menghilangkan
bayangan tentang Reza.
“Aku tau kok kamu itu
ganteng, hebat, dan banyak orang yang naksir sama kamu. Tapi, aku paling gak
suka sama orang yang gak pernah menghargai orang lain kayak kamu. Dari dulu tuh
kamu selalu bersifat gitu sama aku, aneh banget kamu di depan aku. Emang aku
salah apa sih, hah? Salah apa aku, Za? Aku
salah ya mencintai kamu. Apa selama ini
aku sia-sia simpan perasaan buat kamu, Za? Buka
dong hati kamu sedikit aja buat aku, paling enggak aku tuh mau jadi temen kamu
doang. Jangan jadiin aku seperti musuh kamu. Toh, sama orang lain kamu tuh gak
segitunya banget. Tapi sama aku kenapa kamu gitu? Hukks,,hukss”. Lantas, aku meluangkan kekesalan dan kesedihanku lewat untaian kata
emosi sambil menangis. Aku benar-benar sakit. Seperti cinta yang bertepuk
sebelah tangan kepadanya.
* * *
Lima hari berikutnya acara Pensi pun
dilaksanakan. Aku sudah bersiap-siap dari rumah mengenakan kostum dan berjalan
dengan PD-nya ke sekolah. Seperti biasanya, aku selalu ditemani diari yang tak
pernah hilang dari tasku. Semua orang memperhatikan aku sejak aku mulai
memasuki gerbang depan sekolah menuju ke ruang OSIS untuk melaporkan kesiapanku
untuk tampil. Kami berkumpul di sana, bersama Reza dan teman-teman lainnya.
“Lho,, Kara??? Kok...” Fira terkejut melihatku lengkap dengan kostum itu. “Jadi maksud Kamu waktu itu yang bisa
nyanyi itu kamu ya?! Hahaha, kenapa
gak pernah bilang selama ini kalo kamu bisa nyanyi. Kan aku gak pusing nyari
orang”.
“Iya nih Fir, hehe. InsyaAllah
aku nampilin yang terbaik. Doa’in aja ya!”. Aku tersenyum dengan bangga kepada Fira yang tadinya heran.
(Ketika maju ke panggung dan bernyanyi)
“Wow,,,go Kara go Kara go...” sorak teman-teman dengan antusias
melambaikan tangan ke arahku yang sedang menampilkan salah satu lagu Pop
terkenal yang membuat teman-teman menjadi semangat dan penuh tawa. Aku pun
merasa semakin percaya diri atas sanjungan mereka, dan berharap supaya Reza
juga memujiku. Dan apa yang terjadi? Reza lompat-lompat kegirangan sepertinya
ia sangat menikmati lagu yang aku bawakan barusan. “Waahh, senangnya aku, ternyata
aku bisa membuat Reza tersenyum. Mimpi apa aku semalam
ya?” aku bertanya-tanya dalam hati, tapi tak terlepas dari
rasaku yang amat sangat senang karena berhasil membuatnya menjadi sosok yang
ceria. Semua teman-temannya juga bingung melihat tingkahnya yang sangat berbeda
dengan image’a yang tadinya cool berubah menjadi humoris tak jelas seperti itu.
“Sip Kar!” Fira melambaikan tangannya dan mengacungkan
jemopol ke arahku seolah meyakinkan bahwa penampilanku benar-benar spesial
sehingga membuat Reza kegirangan.
(setelah turun dari panggung)
“Good Job Kara, terimakasih partisipasinya”. Reza tiba-tiba
menghampiriku dengan uluran tangannya sambil tersenyum lepas.
“Oke Reza, sama-sama.” Aku pun tersenyum sambil membalas jabatan tangannya kepadaku tadi.
Sumpah! Hatiku seperti terbang ke surga, tak menyangka bahwa akhirnya Reza
berhasil juga aku taklukkan. Sejak saat itu, kami mulai akrab dan semakin
akrab. Reza yang ku kenal sekarang berbeda dengan Reza yang dulu, dia orang
yang ramah, enak di ajak ngobrol dan penuh hal-hal menarik lainnya. Aku sangat
sangat senang bisa dekat dengannya karena momen di PENSI lalu. Tak sia-sia
keinginanku terwujud sekarang. Dan apa cerita selanjutnya?
Nah,
dua minggu ke depan setelah acara PENSI itu, aku sama sekali tak menyangka
kalau Reza menyatakan cinta kepadaku. Entah malaikat apa yang membantuku
meluluhkan hati sang pangeran, sehingga akhirnya kami berpacaran. Sungguh, aku
merasakan kebahagiaan yang tiada tara. Sebelumya, aku yang dulunya selalu
memujanya dan berharap untuk bisa memilikinya, meskipun sempat putus asa,
ternyata harapan aku yang nyata tak sia-sia begitu saja. Justru sebaliknya, dia
yang mendambakan aku sekarang.
“Kara, aku benar-benar mencintai kamu. Aku punya
rasa sejak pertama aku lihat kamu dulu. Kamu inget kan
waktu kita ketabrak di depan kantor guru? Dan kamu jatuhin semua kertas-kertas
aku?. Aku lihat kamu itu sangat mirip dengan orang yang pernah muncul di mimpi
aku, seperti sang putri yang kudambakan, namun pada mimpiku itu, akhirnya kamu
meninggalkan aku bersama kenangan pahit dan sakit hati. Oleh sebab itu aku
selalu menghindari kamu karena aku sangat takut jatuh cinta sama kamu dan
mengalami hal yang sama seperti yang ada dalam mimpiku. Aku sangat trauma, Kar, karena udah beberapa kali jatuh ke jurang
yang sama. Tapi, semakin lama aku mendengar nama kamu di
satu sekolahan yang benar-benar sangat terkenal pinter, rajin, ramah, multitalenta, baik hati, dan
cantik, itu semua membuat aku semakin mengagumi kamu. Suer! Tadinya aku ingin mengenal kamu lebih dalam, tapi entah kenapa untuk ngelakuinhal itu sulit
sekali rasanya, justru aku harus bersikap aneh
terhadap kamu. Sekarang,
aku benar-benar sangat bersyukur karena udah dapatin tuan putri yang aku impikan
selama ini”. Reza duduk di
sampingku sambil memegang tanganku dengan penuh keseriusan yang mendalam. Dia
menjelaskan isi hatinya yang terpendam selama ini. Aku pun mendengar dengan
seksama atas penjelasannya itu yang sungguh sama sekali tak pernah ku sangka ia
akan berkata sedemikian.
“Ya ampun, kita sama persis Za,
aku juga mengagumi kamu sejak pertama kali lihat
kamu. Aku cinta sama kamu sejak pandangan pertama dan sampai detik ini. Aku
rasa kita jodoh ya?! Aku juga sempat punya mimpi kalau kamu itu pangeran yang
aku imipikan. Ini benar-benar ajaib.”. Aku pun berkata jujur di hadapannya saat itu juga. Karena memang
sesungguhnya isi hati yang di jelaskannya tadi, sama persis seperti isi hatiku.
Sejenak aku terdiam berfikir, “Jadi, selama ini perasaanku untuk dia gak bertepuk
sebelah tangan dong, toh dia juga mencintai aku sama seperti aku mencintainya.”
Aku
dan Reza pun tersenyum bahagia. Dan ia juga sempat berkata, “Oia, kamu tau gak?! Aku dulu sempat
menjalin hubungan dengan Zuhra, tapi akhirnya kandas di tengah jalan karena
satu sebab. Yaitu, kesalahan aku yang uda mencintai kamu.”
“Kok bisa karena aku,
Za? Maksud kamu gimana? Kan kita dulu gak pernah saling kenal,
gimana bisa aku menyebabkan kalian putus?! Aku gak ngerti , coba deh kamu
jelasin sama aku.” Perkataan Reza tadi mengingatkanku
dengan pernyataan Zuhra dua bulan silam. Dimana yang dulunya aku dan Fira sempat berfikir seperti
apa yang telah dikatakan Reza barusan, ternyata itu memang menjadi sebuah
kenyataan. Lagi-lagi kejadian menakjubkan yang tak pernah terduga terjadi padaku. “Wah, hidupku itu penuh dengan teka-teki
sederhana rupanya, haha”, Fikirku dalam hati.
“Jadi, waktu itu aku sempat
keperogok Zuhra sedang menulis buku harian. Jadi, Zuhra penasaran dengan isi
diariku itu. Lantas, ia rebut diari itu dari tangan aku. Lalu dia baca, dan
tiba-tiba dia marah trus nangis di depan
aku. Yaa gimana enggak, isi diari itu tentang kamu semua. Isi hatiku aku
tuangin tiap hari lewat buku itu. Jadi, mungkin Zuhra gak terima dengan itu
semua. Aku ngaku emang aku salah besar udah ngecewain dia, tapi aku emang benar-benar gak bisa menahan perasaan aku sama kamu. Jadi, aku terpaksa ngecewain Zuhra.
Tapi yaudah lah, lupain yang udah berlalu. Aku ingin serius sama kamu. Dan
lupain aja, kamu jangan ngerasa gak enak karena hal itu ya, sebab, semuanya itu emang salah aku sendiri kok.”
“Aku benar-benar gak nyangka
banget Za, ini semua di luar dugaan aku. Bahkan satu kesamaan kita lagi
adalah, aku juga suka nulis buku diari yang semua isinya juga tentang kamu.” Mataku berkaca-kaca seakan ikut terbawa
dalam cerita kejujuran hatinya itu. Tapi tak kupungkiri juga bahwa bagaimanapun
aku masih merasa bersalah dan tidak enak kepada Zuhra yang telah tersakiti
hatinya karena hadirnya aku dalam fikiran Reza selama ini.
“Udah,
Kar, semuanya udah berlalu kok. Sekarang kita jalani yang ada
sekarang aja barengan, ya !”. Reza menghiburku dengan senyum indah yang terukir di bibirnya. Itu
membuatku semakin tenggelam jauh ke dalam perasaan yang sangat besar kepadanya
dan aku juga tak akan menyia-nyiakan Reza yang selama lima bulan kukagumi itu.
Aku sangat bahagia bisa bersama dia semenjak itu. Angin berhembus pelan, awan
pun bergerak bersusun membentuk senyum indah seakan ikut bahagia menemani
perasaanku.
Written By Nurhanifa XI IPA 1
(SELESAI)
nice story. ^^
BalasHapustapi alangkah lebih bagus kalau ada suara bunyi seperti "braaaak, sreeet, dll" gitu di asingkan fa dan setiap akhir pembicaraan buatlah seperti "ucapku, ucapnya, lirihnya dll"
walaupun ada beberapa typo aku suka ^^
ini saran loh ^^
semoga ifa bisa menjadi author. FIGHTING!!!
*mamin*
ooohh oke oke :)
BalasHapusaminn,makasi ya mamin sarannya !
hhee