Jumat, Desember 07, 2012

SUMBER HUKUM ISLAM


A. Al-Qur’an

1. Pengertian Al-Quran

          Al-Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al-Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah. Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya

          Al-Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.

v  Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar

v  Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.

v  Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.

v  Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat



2. Isi Kandungan Al-Qur’an

          Isi kandungan Al-Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.

1. Segi Kuantitas

          Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.666 ayat

2. Segi Kualitas

          Isi pokok Al-Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:

*      Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam

*      Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih

*      Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.



1. Pengertian Hadits

          Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT yang Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)

          Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia.

1. Fungsi Hadis

          Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.

1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an, sehingga kedunya (Al-Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT didalam Al-Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam firmannya yang artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)

2. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya, ayat Al-Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah SAW dalam haditsnya.

3. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an. Misalnya, cara menyama’ benda yang telah dijilat anjing dan babi.



2. Klasifikasi Hadis

          Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:

1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits.

2. Hadits Makbul, adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk Hadits Makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan.

3. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting.

4. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi

         

3. Syarat-syarat Hadis Shohih

          Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:

1. Rawinya bersifat adil

2. Sempurna ingatan

3. Sanadnya tidak terputus

4. Hadits itu tidak berilat, dan

5. Hadits itu tidak janggal



C. Ijtihad

1. Pengertian Ijtihad

          Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga.

          Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:

1. mengetahui isi Al-Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum

2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al-Qur’an dan hadits

3. mengetahui soal-soal ijma

4. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.

          Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)

          Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, yang artinya “Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)

          Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kesepakatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT: Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)

          Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al-Qur’an, seperti sekarang ini

          Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al-Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al-Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al-Qur’an.

          Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:

1. Dasar (dalil)

2. Masalah yang akan diqiyaskan

3. Hukum yang terdapat pada dalil

4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan


By: Lya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar