A. Al-Qur’an
1. Pengertian Al-Quran
Al-Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan
secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat
Jibril. Al-Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An
Nas. Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah. Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam
yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum
yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT,
yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya
Al-Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat
manusia.
v
Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah,
yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada Allah SWT,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar
v
Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu
ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.
v
Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni
shalat, puasa, zakat dan haji.
v
Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan
manusia dalam masyarakat
2. Isi Kandungan Al-Qur’an
Isi kandungan Al-Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan
kualitas.
1. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.666 ayat
2. Segi Kualitas
Isi pokok Al-Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi
menjadi 3 (tiga) bagian:
Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang
mengatur hubungan rohaniyah dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan
dengan keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang
mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini
tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya
disebut Ilmu Fiqih
Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni
tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat sifat mulia sekaligus menjauhi
perilaku – perilaku tercela.
1. Pengertian Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber
hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk
menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad
SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT yang Artinya: “ …
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh
perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan
akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap
dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan
budi pekerti yang sangat mulia.
1. Fungsi Hadis
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki
kedua fungsi sebagai berikut.
1. Memperkuat hukum-hukum
yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an, sehingga kedunya (Al-Qur’an dan Hadits)
menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT didalam
Al-Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan
dalam firmannya yang artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
2. Memberikan rincian dan
penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya,
ayat Al-Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah
haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat
dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat,
tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan
oelh rasullah SAW dalam haditsnya.
3. Menetapkan hukum atau
aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an. Misalnya, cara menyama’
benda yang telah dijilat anjing dan babi.
2. Klasifikasi Hadis
Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai
berikut:
1. Hadits Shohih, adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud
adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu
hadits.
2. Hadits Makbul, adalah
hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah.
Yang termasuk Hadits Makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan.
3. Hadits Hasan, adalah
hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya
(hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan
pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah
untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting.
4. Hadits Dhoif, adalah
hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau
hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan
derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits
shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
3. Syarat-syarat Hadis Shohih
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang
shohih, yaitu:
1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak
berilat, dan
5. Hadits itu tidak janggal
C. Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al-Qur’an
maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta
berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil
ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa
syarat berikut ini:
1. mengetahui isi Al-Qur’an
dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
2. memahami bahasa arab
dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al-Qur’an dan hadits
3. mengetahui soal-soal
ijma
4. menguasai ilmu ushul
fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama
ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam
hubungan ini Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Apabila seorang hakim
dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar,
maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan
perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia
memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat
sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat
tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal
ini Rasulullah SAW bersabda, yang artinya “Perbedaan pendapat di antara umatku
akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara
ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kesepakatan dari seluruh imam mujtahid dan
orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah
SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan.
Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT: Artinya: “Hai orang-oran yang beriman,
taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang
mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam
mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum
Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian
membukukannya menjadi mushaf Al-Qur’an, seperti sekarang ini
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang
tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara
keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan
minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan
dengan khamar yang disebut dalam Al-Qur’an karena antara keduanya terdapat
persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak
ada ketetapan hukmnya dalam Al-Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena
mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al-Qur’an.
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka
ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
1. Dasar (dalil)
2. Masalah yang akan
diqiyaskan
3. Hukum yang terdapat pada
dalil
4. Kesamaan sebab/alasan
antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
By: Lya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar